Mungkin hanya orang Banda yang paling antusias mendukung peran Sjahrir terhadap kemerdekaan RI. Sebab, dimasa pembuangannya di Banda Naira, Sjahrir bersama Hatta telah membuktikan peranannya dengan mendirikan Sekolah Rakjat, yang bertempat di halaman belakang rumah Hatta. Menurut Des Awli (murid, sekaligus anak angkat keduanya), Hatta dan Sjahrir seringkali secara “sembunyi-sembunyi” mengajarkan nyanyian-nyanyian dengan irama lagu kebangsaan Indonesia Raya kepada murid-muridnya dalam bahasa Indo-Arab, jauh sebelum telinga orang Indonesia mendengarnya.
Aktivitas keduanya pun dibagi, jika Hatta lebih sibuk dengan urusan sekolah dan sering menghabiskan waktunya bersama buku-buku kesayangannya, Sjahrir lebih banyak memfokuskan dirinya bertemu para pemuda dan warga Banda sekitarnya. Meski demikian keduanya sama populer nya di mata orang Banda.
SJAHRIR DIMATA BANDA DAN INDONESIA
Lalu bagaimana “nasib” Sjahrir di wilayah lain negara ini? Dalam sebuah catatan perjalanan yang ditulis Syafruddin Ujang, tahun 2006—sebagai salah satu anggota rombongan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, yang berkunjung ke Banda Naira untuk menghadiri lustrum perdana STP Hatta-Sjahrir—dapat kita lihat jelas perbedaannya. “Kepahlawanan Bung Hatta dan Bung Sjahrir yang dipuja di Banda Naira, nyaris tercerabut di Minangkabau” (asal kelahiran kedua tokoh, red), demikian awal tulisan Ujang.
Namun yang paling mengagumkan bagi penulis, adalah “bagaimana orang Banda mengapresiasi kedua tokoh nasional tersebut. Meski cuma tinggal selama enam tahun di masa pembuangan, Bung Hatta, Sjahrir dan sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya seperti dr. Tjipto Mangunkoesoemo dan I.K. Soemantri, sangatlah berkesan di hati masyarakat Banda….Dibuktikan dengan terpeliharanya rumah-rumah pengasingan tokoh-tokoh tersebut. Mengabadikan nama Hatta dan Sjahrir, untuk sebuah Masjid, dan juga untuk dua buah pulau, yaitu Pulau Pisang menjadi pulau Sjahrir, dan Pulau Rosengging menjadi Pulau Hatta…”
Tidak cukup sampai disitu, pada tahun 2001 silam, dibawah Yayasan Warisan dan Budaya Banda yang dipimpin Des Alwi, warga Banda Naira sepakat untuk mendirikan sebuah Perguruan Tinggi yang bernama Hatta-Sjahrir. Kini Lembaga Pendidikan—yang dipimpin langsung oleh Prof.Dr. Hamadi Husain, seorang putra asli Banda—tengah meningkatkan kualitasnya menuju Universitas, dengan tiga Fakultas; Fakultas Perikanan (terakreditasi), Fakultas Pendidikan (SK resmi tahun 2009), dan Fakultas Pertanian (tahap usulan).
Apresiasi yang begitu tinggi terhadap tokoh Nasional, khususnya Sjahrir di Banda Naira, tampaknya tak terjadi di wilayah Indonesia lainnya. Khususnya Sutan Sjahrir di tanah Minang tempat kelahirannya seolah lenyap ditelan bumi. Dari catatan sejarah, Sjahir, lahir di Padang Panjang pada lima Maret seribu sembilan ratus kosong sembilan. Namun peninggalan Sjahrir semasa kecil sulit ditemukan. Jejak yang masih bisa dilacak, adalah mengunjungi rumah adik tirinya, Rohana Kudus di Kampung Labuah Gadang di Koto Gadang. Namun, tidak ada satupun orang yang bisa ditemui. Kabarnya, rumah ini sejak lama sepi ditinggal penghuninya. Begitu pula dengan rumah kedua orang tua Sjahrir di Kampung Piliang, masih di Koto Gadang. Rumah besar ini kosong dan tidak terawat. Jejak Sjahrir sudah sulit ditemukan di tanah kelahiranya. Sejarah hanya mencatat, ia lahir di Tanah Minang ini dan tahun 1966 tutup usia di dalam tahanan di Zurich - Swiss. "Di samping Sjahrir, Tan Malaka juga tak bisa kalian cari," demikian tutur Oom Des, sapaan akrab Des Alwi.
INTELEKTUALISME SJAHRIR: Upaya memanusiakan manusia Indonesia
Sebagai bapak Sosialisme Indonesia, pemikiran dan visi Sjahrir terlampau jauh menembus zamannya, bahkan melampaui Soekarno dan Hatta itu sendiri, demikian pengakuan banyak ahli.
Menurut John Legge, seorang ahli sejarah Universitas Monash, Australia, yang dikutip Herdi Sahrasad, pemikiran Sjahrir mempunyai makna dalam beragam interpretasi. Makna pemikirannya bukan terletak pada perannya sebagai sebuah organisasi politik, melainkan pada fakta, bahwa dia merepresentasikan suatu aliran moral dan politik yang bersumber dari nilai-nilai kehidupan bangsa kita. Dia memperjuangkan human dignity, martabat manusia dengan segala suka dukanya. (Jawa Pos, 4 Maret, 2009).
Mungkin hanya Sjahrir, dan segelintir pejuang dan intelektual Indonesia yang aktif memperjuangkan martabat bangsa, sesuatu yang sudah terlalu asing pada pribadi petinggi negara kini. Perilaku korup, indisipliner, terjerat dalam belitan skandal moral, adalah bukti moral petinggi negara dan bangsa ini sedang kritis. Meskipun bukan sosok yang paling berpengaruh (dibawah bayang-bayang nama besar Soekarno-Hatta), Sjahrir muda telah meletakkan dasar prilaku dan moral yang mengagumkan, dan memberi contoh yang begitu mulia, bukan saja kepada pemuda-pemudi Indonesia, namun juga kepada orang yang lebih tua darinya.
Sebagai intelektual, ia enggan menjadi menara gading hingga melupakan rakyatnya yang jelata dan tak berpendidikan. Sebagai pemuda, ia tidak tercerabut dari akar moralitas hingga terjerat dalam belitan prilaku amoral. Jujur, Indonesia masih merindukan Sjahrir-Sjahrir muda terlahir kembali. Bangkit dan melawan krisis intelektualisme dan moralitas bangsa yang carut-marut ini.